Jumat, 13 Juni 2014

Meraih Pelangi di Ujung Coban

Minggu, 8 juni 2014

Perjalanan adalah hal yang paling melelahkan tapi juga paling mengesankan. Melelahkan karena menguras tenaga dan pikiran, mengesankan karena kita bisa menceritakan perjalanan kita sebagai bentuk perjuangan sebelum mencapai keberhasilan, ngomong opo seh kok nglantur ngene iki. Sebenarnya saya ingin menceritakan perjalanan saya menuju Coban Cinde. "Coban Cinde. Terletak pada koordinat LS 7°59′21.01″ dan BT 112°50′5.11″ dan secara administratif masuk ke dalam wilayah Desa Benjor, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Kota kecamatan terdekat adalah Tumpang, yang berjarak 20 kilometer dari Kota Malang. Sedangkan untuk mencapai Coban Cinde dari kota kecamatan Tumpang masih dibutuhkan jarak 6 kilometer berkendara menuju Desa Benjor" ngutip dari artikelnya bang Arief Abdurrahman hakim.

Jalan menuju Coban Cinde sangat menantang, tak ada paving, tak ada penjual jajanan dan souvenir, yang ada hanyalah jalan makadam, hutan, tebing terjal dan sungai deras yang harus dihadapi. Dan untuk menghadapi itu semua anda yang berminat kesana harus mempersiapkan perlengkapan yang sesuai dengan medan yang akan dihadapi.

1. Baju lengan panjang dan celana panjang, untuk meminimalisir luka akibat duri
     tanaman.
2. Sepatu, ini sangat mempengaruhi kenyamanan selama perjalanan, kalau bisa
     sepatu hiking sekalian biar mantep.
3. Bekal berupa makanan dan minuman secukupnya, sediakan juga kantong plastik
     untuk membawa kembali sampah, syukur syukur anda mau mengambil sampah
     yang ada disana, biar tetep lestari dan indah.
4. Alat Dokumentasi, HP, kamera pocket sampe DSLR kalo mau ribet bawa.

Okay, perjalanan dimulai....

Kebun warga setempat dengan jalan makadam adalah yang pertama menyambut. sampai disini perjalanan masih santai jalanan tidak terlalu menanjak dan jalan makadam yang kadang diselingi tanah rata, sungguh memanjakan kaki.


Jalan besar usai dilewati, saatnya menapaki jalan setapak. Disini kami disuguhi pemandangan rapatnya tegakan hutan pinus yang ditanam secara tumpang sari bersama kopi dan cabai. Ucapan syukur berkali-kali terucap karena masih diberi kesempatan menikmati indahnya alam Indonesia dan semoga diberi kekuatan dan kesempatan untuk dapat menjaganya agar tetap lestari. Aaamiiinn....


Kaki yang mulai gatal karena dimanja jalan tanah datar mulai mendapat garukan isimewa dari lembah curam. Mau tak mau kaki harus digaruk tanah berkali-kali karena saking miringnya lembah. bukan hanya kaki yang bekerja, tanganpun harus extra keras menggenggam apapun yang dapat diraih untuk berpegangan.


Yaa..harus lewat lembah ini untuk bisa sampai ke Coban Cinde yang "katanya" bagus itu. Jadi kalau anda berminat kesini, sisakan sebagian besar tenaga anda untuk kembali ke atas kalau sudah berada di bawah.

Tenaga terkuras, keringat nggobyos, dan air sudah banyak menguap dalam tenggorokan hanya untuk turun lembah. yoopo mulie engkok iki. Ada pepatah bilang dibalik kesusahan pasti ada kemudahan, tapi untuk kali ini pepatah itu berubah menjadi Di balik kesusahan ada kesulitan yang lebih besar menghadang, kenapa, karena kami harus melawan derasnya arus sungai.


Arus sungai ini cukup deras, bahkan pada bagian tertentu akan sangat mudah air membawa serta tubuh anda menuju hilir. Jadi berhati-hati juga pandai-pandai mencari celah untuk berjalan dengan anti main stream dengan kata lain tidak melewati arus utama. Beberapa kali kami harus meniti tebing disamping sungai, persis kayak lagunya ninja Hatori.

Terhitung ada 3 air terjun skala kecil dan 1 skala besar sebelum sampai ke air tejun utama, jauh memang, tapi daripada capek sendiri mengutuk sungai yang tak ada habisnya, mending selfie dulu, lumayan tombo kesel.

 
Setelah melakukan hal yang sama berulang kali, nyebur, mendaki, meniti, terjebak, dan kembali lagi nyebur, sampai juga di penghujung duka. Pelipur lara yang begitu indahnya menghembuskan sejuta angin bercampur air segar pegunungan. Melegakan badan, pikiran dan batin. Ternyata pepatah tadi ada lanjutannya "Di balik kesusahan ada kesulitan yang lebih besar menghadang, lalu kebahagiaan datang". Dan memang Tuhan tidak akan memberikan kita kesulitan diluar kemampuan hambanya, tinggal para hamba ini mau atau tidak bekerja extra keras untuk mencapai tujuan dan tidak pernah lelah menolak rongrongan kata menyerah dari dalam hati.

Mungkin anda sekalian masih bertanya atau mungkin sudah lupa dengan judul artikel ini. Saya ingatkan lagi ya dari pada anda susah susah scroll mouse kesayangan anda. "Meraih Pelangi di Ujung Coban" mungkin terlihat hanya kiasan, tapi sebenarnya adalah kenyataan. Ketika berada dibawah coban dan bertepatan dengan sentuhan langsung sinar matahari  maka fenomena alam yang paling indah akan muncul "PELANGI". Semakin anda mendekati lokasi jatuhnya air coban, maka semakin besar pula pelangi yang nampak, dan mungkin anda bisa mewujudkan impian konyol semasa kecil anda, yaitu memegang pelangi. hal ini sangat dimungkinkan untuk dilakukan selama matahari masih mau memberikan sinarnya langsung ke arah coban. Sehingga meraih pelangi merupakan suatu hal yang tidak mungkin untuk tidak bisa dilakukan.

Disinilah saya mendapat pesan tersirat dari alam. "Bermimpilah sejauh, setingi, sebesar apapun kau mau, lalu berusahalah semaksimal mungkin tanpa kenal putus asa, maka impianmu akan jadi kenyataan, sekonyol apapun mimpimu itu"


 sebelum air terjun utama

 sebelum air terjun utama

 ini baru air terjun utama




Namun sayang seribu sayang, saya tidak bisa membuktikannya femomena memegang Pelangi melalui foto, karena lensa kamera Hp yang dipakai belum mampu menangkap fenomena tersebut secara maksimal, jadi, dari pada malu, mending gak usah dipajang fotonya dan langsung datang sendiri kesana saja. hehehe.

#SALAM LESTARI

Senin, 13 Mei 2013

Cangar Tak Hanya Burung



pemandangan pagi dari basecamp

Pemandian air panas yang mengandung belerang dan berkhasiat mengobati segala macam penyakit kulit. Mungkin itulah yang terngiang di setiap benak orang yang pernah ke Cangar. Sebuah tempat wisata yang berada dalam kawasan Tahura R. Soerjo. Berbeda lagi di mata para biodivers dan pengamat burung, Tahura R. Soerjo seakan menjadi surga bagi mereka. Betapa tidak, burung-burung yang ada disini jarang yang malu, jumlahnya berlimpah dan mudah ditemui bahkan di pinggir jalan raya.

Tahun 2012, kenangan yang mengesankan ketika melihat  betapa burung di Tahura R. Soerjo begitu beragam dan berani, mengesankan bahwa disinilah tempat berlatih yang tepat untuk menjadi birdwatcher yang handal. Hal yang berbeda terjadi ditahun berikutnya, berendam semalaman di kolam air panas hanya bertiga yaitu dengan Ulum dan Mbak Ayu, serasa memiliki private hot spring. Sabtu 27 April 2013, dimana menemani dan mendampingi proses pendidikan konservasi angkatan 32 MPA Jonggring Salaka adalah tugas. Materi yang harus diaplikasikan pagi itu adalah birdwatching di kawasan Cangar, dengan tim dibagi menjadi tiga, berpencar kemanapun asal masih berada dalam kawasan. Bayangan banyaknya burung yang muncul menjadi angan-angan yang membumbung tinggi sampai tersadar bahwa hanya burung-burung kecil yang terlihat dan tak tampak jelas burung apa itu sebenarnya karena masih terlalu pagi, yang dapat tertangkap jelas ciri-cirinya hanyalah si kecil hijau cikrak daun.

merangsek ke dalam hutan

Bosan dengan burung-burung yang tak jelas karena kurang cahaya dan ukuran yang minimalis, jogging track menjadi jujukan selanjutya, berharap bertemu jenis lain yang istimewa. Naik turun, basah embun tak jua menemukan hasil berarti, hanya sekelompok kutilang dan sepah gunung yang sempat teridentifikasi. Pukul 9 pagi sebenarnya jadwal untuk pengamatan burung sudah selesai, namun terlalu jauh jarak yang ditempuh membuat tim yang saya gawangi terlambat 15 menit dari jadwal.

 segarnya lumut di pepohonan

 pakis tiang yang tumbuh subur

 awesome natural backlight

Sharing di basecamp tentang pengamatan membuat saya jadi iri pada tim lain yang sempat bertemu pelatuk dan banyak burung lain yang sulit terindentifikasi karena keterbatasan pengalaman dan skill gambar yang kurang jelas proporsi dan kunci identifikasinya. Semua itu merupakan proses belajar, juga untuk pendamping seperti saya.

Pada sesi selanjutnya adalah pengaplikasian materi Anveg (analisis vegetasi). Pengaplikasian kali ini tidak terlalu jauh dari basecamp mungkin hanya berjarak 50m. saya tidak tau persis apa yang mereka hitung sampai berjumlah puluhan ribu dalam petak yang haya berukuran 10m², yang terpenting adalah saya menemukan seyum dan tawa ketika mereka melakukan kegiatan ini. Tanda bahwa mereka enjoy dalam kegiatan ini memang perlu sedikit dikontrol agar tidak berlebihan dan memakan banyak waktu kegiatan.

pengaplikasian analisis vegetasi

ini nich para pesertanya

Ada yang menarik ketika mereka membantu saya mengabadikan beberapa jenis serangga unik di dalam petak yang mereka batasi dengan tali rafia itu. Sambil mereka menghitung jenis vegetasi, mereka juga mencari serangga unik yang kemudian ditunjukkan kepada saya untuk difoto. Hasilnya bisa anda lihat dibawah ini, dan saya ucapkan terimakasih untuk para pembaca karena telah menyempatkan sedikit waktu anada untuk membaca artikel dalam blog ini. TERIMAKASIH……


 

    


    
             
                            


 

    




Rabu, 13 Maret 2013

Tangkapan Baru Di Coban Rais


Gerimis, hujan, dan panas menyambut pagi hari di Coban Rais. Coban adalah sebutan untuk air terjun untuk wilayah malang dan sekitarnya. Hari itu saya sudah dengan persiapan matang untuk mengungkap keanekaragaman hayati di salah satu Coban yang ada di kota Batu. Berbekal kamera Canon EOS 600D dan lensa kit sebagai pelengkapnya, berbagai macam hal unik akan terabadikan dengan sempurna.

Coban Rais terletak di dusun Dresel, desa Oro oro Ombo, Batu. Sebenarnya Saya berada di Coban Rais bukan karena acara sendiri, tapi lebih kepada acara Pesantren tempatku mengabdi selama 3 tahun terakhir. Achievement Motovation Training atau disingkat AMT adalah kegiatan tahunan yang wajib diikuti oleh kelas pertama dan akhir seperti diriku. Tetapi bagaimanpun juga Saya tidak akan mensiasiakan kesempatan mengabadikan beraneka macam ciptaan Tuhan di tempat yang masih sangat alami ini.

Karena pagi diawali dengan gado-gado cuaca, maka keluarlah dewi cantik dibalik hijaunya perbukitan Coban Rais. Ya, Pelangi, yang sering dinyanyikan anak-anak TK namun jarang sekali muncul dihadapan mereka, paling munculnya di buku pelajaran yang penuh gambar. Sebenarnya sudah sering Saya melihat pelangi, namun baru pertama kali mendapat kesempatan untuk mengabadikannya ke dalam bentuk digital.

pelangi di wana wisata Coban Rais

Acara AMT pun dimulai pukul 7 pagi. Acara yang lebih berkonsep outbond ini diisi dengan 5 permainan yang tersebar mulai jalur tracking sampai jalan dekat dengan Coban atau air terjunnya. Kebetulan Saya menjaga pos 4 , jadi cukup banyak waktu untuk sesekali mengeksplor lingkungan sekitar. Tak kusangka dan tak kuduga, belum ada setengah perjalanan kibasan sayap Elang ular bido membuatku diam terpana dalam imajinasi dan kekaguman. Memang bukan pertama kalinya melihat elang sebesar itu, sebelumnya pernah juga di TN Baluran, Gunung Arjuno  dan di Tahura R Soerjo. Entah mengapa kali ini terasa sedikit berbeda, mungkin kaena Saya lebih siap dengan peralatan tempur yang lebih memadai. Dengan sigap ku arahkan moncong lensa asal, berspekulasi untuk mendapatkan fotonya yang sedang bertengger, karena setiap didekati, Elang sensitif ini langsung kabur, mungkin karena Saya datang besama gerombolan manusia berpakaian mencolok. Saking semangatnya Saya sampai lupa mengatur kamera menjadi lebih normal shutter speed dan bukaan diafragmanya, sehingga ketika mendapat kesempatan untuk memfoto ketika sedang terbang hasilnya over, atau kelebihan cahaya, dan bisa ditebak foto dominasi warna putih yang Saya dapatkan. Senang, tapi juga kecewa dengan hasil yang kurang maksimal. Bagaimanapun juga ini harus disyukuri, dan tak perlu khawatir, suatu saat nanti pasti ketemu lagi.

Elang Ular Bido yang lagi bertengger

Elang Ular Bido sedang mengepakkan sayapnya

Setelah acara AMT selesai, Saya mengikuti peserta terakhir kearah Coban. Melewati jalan setapak becek, rembesan sungai, sampai aliran sungai yang berasal dari Coban. Pemandangan yang berbeda dengan yang Saya lihat ketika pertama kali kesini, kali ini air lebih banyak mengucur dari tebing yang tingginya kurang lebih 30m, membuat angin bercampur titik-titik air terhempas  sampai ke wajah para pengunjung yang sudah banyak berkumpul di sekitar Coban.



Dalam perjalanan pulang Saya lebih memilih berangkat paling terakhir, karena dengan begitu akan lebih leluasa untuk mencari dan memfoto apa yang Saya inginkan. Dan ternyata Tuhan merestui dan mengabulkan permintaanku. Serangga kayu, Capung jarum, Kupu-kupu, kepik, Laba-laba, Ulat bulu menjadi tangkapan digital yang cukup menarik untukku. Tak lupa sekarung sampah Saya dapat dari bejalan menuruni bukit kembali ke base camp.

kepik

capung jarum

serangga kayu

laba-laba kecil

laba-laba besar

kupu-kupu

ulat bulu

Dan itulah sepenggal cerita dari Calon Animator, fotografer amatiran, santri dari Pesantren mahasiswa Al-Hikam, dan mahasiswa semester hampir akhir dari Universitas Negeri Malang prodi DKV. Semoga menambah pengetahuan dan rasa ingin tahu anda.

Senin, 18 Februari 2013

My First Bird Watching Competition Experience

Indonesia merupakan Negara yang kaya akan keragaman hayati diantaranya berbagai jenis burung. Indonesia merupakan habitat bagi 1.539 jenis atau 17% dari seluruh jenis yang ada di dunia yang berjumlah 9.052 jenis. Sebanyak 381 jenis atau 4% merupakan jenis yang tidak ada di tempat lain kecuali Indonesia(endemik).

Bird watching atau pengamatan burung adalah kegiatan untuk melihat, mengamati dan menginventarisir jenis-jenis burung. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui jenis burung apa saja yang ada di suatu daerah, memberikan pengetahuan seberapa tingginya keanekaragaman hayati yang ada di daerah tersebut.

Saat ini sudah ada banyak kompetisi Bird watching, kebanaykan penyelenggaranya adalah Taman Nasional dan Tahura(Taman Hutan Raya). pesertanya kebanyakan mahasiswa dengan jurusan biologi, kenapa?? ya sudah jelas karena jurusan biologi mempelajari yang namanya Ornitologi, ilmu yang mempelajari burung. selain itu ada juga dari kalangan umum pecinta burung, ada juga dari Mapala(Mahasiswa Pecinta Alam)

Menurut saya biaya pendaftaran untuk mengikuti lomba tersebut sangatlah mahal, yang paling murah Rp.100.000 dan biasanya Rp.350.000. Dengan fasilitas makan dan lain sebagainya itu tetaplah mahal untuk ukuran mahasiswa seperti saya. Beruntung Tahura Raden Soerjo mengadakan lomba ini dengan tanpa biaya alias gratis, pengalaman untuk mengikuti lomba seperti ini sangat jarang saya dapatkan, langsung saja saya mendaftar online.

Tahura yang lebih dikenal dengan pemandian air panas Cangar ini entah kesambet apa kok mau maunya mengadakan lomba yang dikenal ptrestisius ini secara gratis, dan lagi total hadiahnya tidak main-main, Rp.30.000.000, sebuah angka yang sangat fantastis mengingat lomba ini gratisan. Sehingga tak kurang dari 250 orang mengikuti acara ini, mulai dari orang jakarta sampai bali ada semua.



Suasana aneh mulai menyelimuti ketika baru sampai di penginapan, semua orang tampak akrab satu sama lain hanya saya dan anggota tim yaitu Febri dan Mas Arif yang tidak kenal satupun diantara para peserta. Saya baru menyadari kalau lomba ini persertanya kebanyakan adalah orang yang sama yang ikut pada lomba-lomba sebelumnya. Tapi itu semua tak menghalangi niat saya untuk menambah teman dan saudara, satu persatu saya coba memberanikan diri untuk SKSD pada setipa orang yang berada di dekat saya, meskipun tak semuanya berhasil dengan baik.

Malam pertama dibuka dengan pembekalan materi dan pemaparan peraturan lomba, dan baru saya tahu kalau sedang lomba itu tidak boleh bawa buku panduan burungnya MacKinnon, "waduh, piye carane ngapalne manuk sak mene kean?" ucapku nyeplos. Tak elak aku hanya bisa nggetu menghafalkan tiap jenis burung yang kemungkinan besar ada di Tahura R. Soerjo karena yang dipertandingkan esok hari adalah nama jenis burung, ciri-ciri utama burung dan sketsa burung. 

suasana pembekalan materi malam pertama

Pagi menjelang, semua peserta telah bangun dari mimpi indahnya, mempersiapakan semua peralatan muali dari alat tulis dan gambar, binocular, monocular, DSLR dengan lensa standar ada juga yang pakai lensa tele, kayak yang saya pakai 300mm. Namun smua itu masih kalah sama punyaknya Mas Uwis, fotografernya TN. Baluran dengan termos besar di depan badan kameranya. 

Peserta diperbolehkan melakukan pengamatan di mana saja asal masih dalam kawasan Tahura R. Soerjo. Banyaknya peserta yang memulai pengamatan di dekat kolam pemandian, membuatku memutuskan untuk memulai dari Gajahmungkur, titik pengamatan terjauh. menunggangi truk pasir, tim dari Mapala Jonggring Salaka  UM, dan beberapa tim lain bersuka cita dalam diam di atas bak truk karena tak mau mengganggu burung.

Sesampainya di Gajahmungkur, pendengaran seakan diisi penuh oleh suara kicauan burung, tak jelas suara burung apa yang didengar. Saya yang baru pertama kali, dibuat linglung oleh keadaan ini. Tak mau putus asa, kuarahkan lensa tele ke segala arah dan didapatlah beberapa burung pada 1 jam pertama pengamatan.




Pengamatan berlanjut,mengikuti tanjakan ke tempat asal kami berada sebelumnya. Namun ada yang berbeda, kini tim Jonggring mendapat teman berjalan dari satu almamater, Universitas Negeri Malang, dari jurusan biologi, yang sebenarnya satu dari mereka yaitu Weli adalah anak Jonggring juga. semakin menanjak, kanopi pohon semakin menutupi janalan, sejuk terasa menghilangkan lelah dan peluh yang menggelora. Sesekali beberapa pengendara sepeda tangguh melewati kami yang sedang berjalan. Setelah cukup jauh berjalan, kami sampai di tempat yang cukup terang, ada aliran air, dan sekitarnya tertutup kanopi pohon-pohon besar, tempat yang sangat coco untuk burung hinggap. Benar saja, baru sebentar menunggu sudah dapat jepretan tele lagi.



dalam perjalanan kami sempat bertemu dengan tim lain, sempat iri dan kagum karena meraka sudah dapat 16 sketsa burung beserta identifikasinya, sedangkan kami hanya memotret dan belum di sketsa sama sekali. Satu hal yang tak terlupakan adalah saat aku mengejar siluet hitam besat di langit yaitu Julang emas, burung pemakan biji-bian yang bentang sayapnya satu meter lebih. Hempasan sayapnya terdengar sampai tanah, dan suaranya yang serak menggegerkan ketenangan kami.

siluet Julang emas


Tak terasa, 5 jam kami mengamati burung, beristirahat di tempat orang jualan tape ketan hitam juga badeg, air tape ketan hitam. Semua itu kami santap dengan lahap karena haus dan lapar. Momen itu kami manfaatkan untuk mulai mencatat dan menggambar apa yang telah didapat selama 5 jam terakhir. Tanya jawab antara orang baru dan yang sudah pengalaman menjadi bumbu selam makan tape ketan hitam. 15 sketsa dan identifikasi yang tak begitu lengkap sudah tercatat dalam buku lomba segera bergegas ke destinasi selanjutnya yaitu pemandian untuk menambah perbendaharaan catatan.

suasana sharing hasil data

Sayang, di pemandian kami hanya mendapatkan 1 jenis baru, itupun kami tidak tahu jenisnya apa. Dengan pasrah dan tak berharap banyak, akhirnya kami kumpulkan juga daftar identifikasi burung yang kami peroleh. Malam mulai datang, diisi dengan kuis dan sharing. Sungguh beruntung, karena modal ngomong, saya dapat satu set gelas dan kompas, lumayan lah buwat tambahan perlengkapan kalau naik gunung lagi.

Esok hari, adalah jadwal pengumuman pemenang, tapi itu masih sekitar jam 8. Pagi sekali beberapa peserta berangkat ke pemandian untuk merasakan hangatnya air belerang didinginnya pagi. Sungguh nikmat, apalagi dapet teman baru lagi yang kebanyakan anak Surabaya. Berendam bersama, main air, dan bersenda gurau adalah cara paling efektif untuk menghabiskan waktu dan benar, tak terasa sudah jam 7 pagi, segera bersiap untuk pengumuman pemenang lomba.

Tak berharap banyak, karena kami baru pemula, banyak pesimis dan optimis hanyalah penambah rasa iri.Mending mendengarkan dan memberi selamat kepada yang menang. Piala yang terbuat dari arklirik dan uang tunai diserahkan kepada pemenang yang tentu saja bukan kami. Namun kami tetap senang karena sudah dapet pengalaman baru, teman baru dan pastinya ilmu dan pengetahuan baru.

peserta bird watching competition

peserta bird watching competition dari Univ. Negeri Malang